Tenang di Luar, Panik di Dalam
Seseorang bisa tampak tenang, penuh semangat, dan berprestasi, namun di balik itu ia sebenarnya sedang berjuang keras melawan stres. Kondisi ini dikenal sebagai duck syndrome.
Fenomena ini diambil dari metafora seekor bebek yang tampak mengapung anggun di permukaan air, padahal di bawahnya sedang mengayuh panik agar tidak tenggelam.
Fenomena di Kalangan Mahasiswa
Duck syndrome kerap ditemukan di lingkungan kampus. Mahasiswa ingin terlihat serba bisa dan produktif, padahal sering merasa kewalahan.
Menurut Anisa Yuliandri, psikolog dari Career and Student Development Unit (CSDU) FEB UGM, istilah ini pertama kali digunakan untuk menggambarkan mahasiswa Stanford University yang tampak tenang tapi tertekan. Kini, pola yang sama banyak terlihat di kampus Indonesia.
Mahasiswa berusaha memenuhi ekspektasi tinggi—mengejar IPK, aktif organisasi, magang, lomba, hingga menjaga citra di media sosial. “Banyak yang takut tertinggal atau dicap malas kalau tidak ikut kegiatan,” jelas Anisa.
Tekanan Budaya dan Media Sosial
Budaya untuk selalu terlihat “baik-baik saja” membuat mahasiswa menekan emosi. Perfeksionisme tinggi mendorong mereka menutupi kelemahan.
Media sosial ikut memperkuat tekanan ini. Melihat pencapaian orang lain di beranda—mulai dari kemenangan lomba hingga pengalaman magang—sering memunculkan rasa tertinggal.
“Dalam upaya agar tidak kalah bersinar, mahasiswa memaksa diri tampak produktif. Ini sesuai Impression Management Theory, di mana citra diri dikendalikan agar terlihat kuat meski sebenarnya lelah,” ungkap Anisa.
Risiko Serius yang Mengintai
Duck syndrome bisa berbahaya karena sifatnya yang tak kasat mata. Jika dibiarkan, bisa berkembang menjadi kecemasan kronis, insomnia, burnout, bahkan depresi.
Anisa menyarankan mahasiswa mulai mengenali gejala sejak dini. Langkah pertama adalah berani jujur pada diri sendiri. “It’s okay to not be okay. Kita tidak harus selalu terlihat bahagia. Mengizinkan diri merasa sedih adalah bagian dari pemulihan,” katanya.
Belajar Mengatur Ekspektasi
Selain itu, penting untuk mengelola ekspektasi diri maupun lingkungan. Tidak semua standar harus diikuti, dan tidak semua peran wajib diambil.
“Belajar berkata tidak tanpa rasa bersalah adalah keterampilan penting,” tambah Anisa. Dengan begitu, mahasiswa bisa menjaga kesehatan mental sekaligus tetap produktif secara sehat.
Baca Juga: Daftar Bos-bos BUMN Penerima Tantiem dan Besarannya, Ini Rinciannya
